Sekilas isi buku:
Rumah Tangga Bahagia adalah sebuah angan-angan, impian, dan harapan semua insan. Angan-angan kadang menjadi impian, menjadi harapan, Impian dan harapan bias menjadi kenyataan namun tidak jarang impian dan harapan hanya menjadi angan-angan yang melelahkan. Seluruh tenaga dikerahakan, seluruh teori dipelajari dan seluruh persyaratan dipenuhi untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, ada yang berhasil akan tetapi tidak sedikit yang mampu menghadapi badai rumah tangga yang dating silih berganti, bahkan tidak jarang badai yang menghantam berhasil meluluhlantahkan mahligai rumah tangga yang telah dibangunnya, merusak tatanan hidup yang telah dibinanya, memporakporandakan ikatan cinta yang telah dijalinnya dan menggoncangkan jiwa yang sedang memadu kasih.
Kebahagiaan hidup bukan karena banyaknya harta dan tersedianya fasilitas mewah, gaya hidup gelamor pun tidak bisa dijadikan ukuran, banyak diantara mereka yang terpenuhi segala fasilitas hidup dengan kemewahan, kantong tidak pernah kering dari duit dan jaminan materi tidak diragukan, tetapi batin mereka banyak yang tersiksa, ketenangan hidup terusik dan jiwa mereka terancam, maka benar nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Sesungguhnya setiap umat ada fitnah (yang merusaknya) dan fitnah umatku dari harta.”1
Oleh sebab itu, banyak diantara mereka yang lari dari kenyataan menghadapi problema hidup dengan menenggak minuman keras, menelan obat terlarang dan menghabiskan waktunya di café-café, alas an mereka untuk mencari ketenangan hidup. Apakah dengan cara seperti itu ketenangan hidup dan kebahagiaan akan tercapai? Tidak. Justru kegelisahan hidup yang akan mereka peroleh, karena ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup hanya bisa diperoleh bila hati dipenuhi dengan hidayah dan ketaatan kepada pemilik jiwa yaitu Allah SWT, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Rabb kalian berkata, ‘Wahai anak Adam! Beribadahlah kepada-Ku sepenuhnya, niscaya Aku akan penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam! Jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan.”2
Seluruh manusia dari berbagai macam profesi, asal usul dan latar belakang semuanya berharap hidupnya jauh dari kegelisahan dan kemalangan. Tidak ada jalan paling baik untuk melenyapkan kegelisahan dan mendatangkan kebahagiaan kecuali dengan mengkonsentrasikan diri kepada Allah dan beribadah sesuai dengan syariat, menghadapi masalah dengan lapang dada, menyelesaikan problem hidup dengan tenang hati dan bersikap qonaah terhadap nasib rizki yang telah ditetapkan Allah SWT atas hamba-Nya. Itulah maksud hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Bukanlah kaya karena banyaknya harta, tetapi kaya adalah kaya hati.”3
Umar bin Khathab n berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya sebagian sifat rakus merupakan bagian dari kemiskinan, tidak berharap dari manusia merupakan suatu kecukupan. Dan sungguh kalian mengumpulkan harta yang tidak kalian makan, kalian berangan-angan dengan sesuatu yang tidak mungkin kalian gapai. Ketahuilah, bahwa sebagian dari kkikir adalah cabang dari kemunafikan, maka berinfaklah, karena demikian itu lebih baik buat dirimu.”4
Bila para suami maupun istri membekali dirinya dengan sikap di atas dalam mengarungi bahtera rumah tangganya, sebesar apapun tantangan dan masalah yang dihadapi dan seberat apapun ujian dan cobaan yang dialami maka kebahagiaan hidup dan ketenangan hidup dan batin tetap menyapanya.
Footnote
1 Shahih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Bani dalam Shahih al-Jami’, No. 2148.
2 Shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2584; Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, no. 4107 dan Imam Hakim dalam Mustadraknya, no. 3657 dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Sementara Albani berkata tentang hadits ini, bahwa memang statusnya seperti yang dikatakan oleh keduanya Lihat as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1359, 3/347.
3 Shahih: Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, no. 1051, Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 2373 dan Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, no.4137.
4 Lihat Tafsir Ruhul Ma’ani, al-Alusi, 3/65-66 dan lihat tafsir ad-Durur al-Mantsurnya, Imam as-Suyuthi, 1/363
|